The Power of Breastfeeding
Siapa bilang menyusui itu mudah? Sekilas memang terlihat mudah. Perkara membuka bra dan menyodorkannya ke mulut anak. Tapi dibalik itu semua ada perjalanan panjang yang mengharu biru. Bagi saya, menyusui itu adalah proses yang melelahkan dan penuh perjuangan.
Sejak awal kehamilan anak kedua, jujur saja saya tidak begitu mengkhawatirkan proses persalinan. Kekhawatiran saya lebih terfokus pada proses setelahnya, proses panjang yang berakhir kegagalan pada anak pertama dulu : menyusui. Ya, gagal anak memberikan asi untuk Barra, saya bertekad untuk memperjuangkan asi untuk si bungsu.
Seperti yang saya katakan pada posting sebelumnya, minggu awal kelahiran Kenjiro smuanya berjalan lancar dan menyenangkan. Asi saya lancar dan Jio bisa tidur pulas setelah nenen walaupun payudara saya mulai lecet. Everything was fine.
Badai mulai datang setelah Jio keluar dari rumah sakit setelah 2 hari disinar. Entah knapa tiba-tiba asi saya ngedrop. Jio mulai rewel tiap disusui dan luka di payudara pun semakin parah dan menyakitkan. Selain itu, kenaikan berat badan Jio pun ngga signifikan. Mungkin itu pula yang akhirnya membuat hasil perah asi melorot tajam. Saya hampir menyerah.
Sama seperti dulu, berbagai cara saya tempuh. Soal asupan, setiap harinya saya bisa menenggak sekurangnya 4 liter air putih. Menu makanan pun tak luput dari sayuran hijau. Saya masih tetap menyusui Jio walaupun harus meringis perih saat lidahnya yang tajam menyentuh luka yang menganga dan berdarah. Seorang teman yang kebetulan menjadi konselor AIMI pun datang membantu untuk membetulka posisi pelekatan saat Jio menyusu. Berbagai cara saya lakukan agar Jio tetap mendapatkan haknya yang paling utama : asi.
Jerih payah saya akhirnya berujung manis. Memasuki minggu ketiga, luka di payudara mulai berkurang. Meskipun masih ada luka yang menganga, anehnya rasa perihnya mulai hilang kalau terkena air atau bergesekan dengan baju. Perkataan suami saya ternyata benar, bahwa tubuh kita bereaksi dan beradaptasi dengan rasa sakit. Seiring waktu, kulit mulai kapalan sehingga rasa sakit pun mulai mereda. Momen ini segera saya manfaatkan untuk menyusui Jio tanpa henti. Saya masih punya peer untuk mendongkrak berat badannya sebelum bertemu dengan dokter anak.
Sekarang, saat saya menulis ini, payudara saya masih terasa perih karna luka yang semula sembuh kembali terbuka karna Jio tidak sabaran saat menyusu. Tapi saya tetap menyusuinya dengan ikhlas dan penuh kesabaran. Tekad itu belum luntur dan insya Allah tidak akan luntur hanya karna darah dan perih yang tak tertahankan. Saat perih itu datang, otak saya langsung berkata "saya ibu yang kuat. Saya pasti bisa!" Dan itulah yang membuat saya sanggup bertahan menyusui Kenjiro hingga saat ini.
Beruntunglah bagi orang-orang yang mudah sekali menyusui anaknya tanpa kendala. Ya, saya iri. Tapi saya tak berkecil hati, malah bangga, karna lagi-lagi ada cerita yang akan saya bagi kepada anak-anak nanti bahwa sungguh ibunya berjuang untuk memberikan asi kepada mereka.
Komentar
Posting Komentar