Rumah Cokelat; Potret ibu masa kini
Saya yakin, pasti banyak banget ibu muda yang bakal bilang "GUE BANGET!!" setelah membaca novel "Rumah Cokelat" karya novelis favorit saya, Sitta Karina. Kamu mungkin salah satunya, dan mungkin juga bakal jadi gambaran hidup saya setelah si kecil lahir nanti :D.
Seperti novel-novel sebelumnya, Arie-sapaan akrab Sitta, selalu berhasil menggambarkan setiap tokoh dengan karakter yang mendetail tapi cerita yang tersaji begitu natural, seolah-olah menjadi bagian dari keseharian kita. Novel setebal 223 halaman ini bercerita tentang kehidupan rumah tangga Hannah-Wigra dalam mengasuh anak pertama mereka Razsya yang berumur hampir 2 tahun. Seperti kebanyakan ibu muda lainnya (mungkin saya pun bakal begitu ;p), Ngga mudah bagi Hannah mengatur waktu antara kerjaan kantornya yang seabreg dan mengurus Razsya. Pergi pagi, lembur, pulang malam lantaran kejebak jahanamnya kemacetan di Jakarta sampe keinginan untuk menikmati "me time" yang seharusnya digunakannya untuk bermain sama anak saat weekend jadi problema yang umum terjadi sama ibu-ibu pencari nafkah jaman sekarang, kayak Hannah.
Akibatnya, jadilah si anak berlabel "anak mbak" karena most of his times dihabiskan bareng babysitter. Dominasi waktu itulah yang akhirnya ngebuat Razsya lebih dekat sama si mbak dibanding ibunya sendiri. Menyadari itu, Hannah berusaha keras mengembalikan keadaan. Ia bahkan rela mengambil keputusan terberat di hidupnya, yakni resign dari perusahaan multinasional consulting demi mengasuh putera semata wayangnya itu. Merubah keadaan tentu ngga semudah membalik telapak tangan, karna disini ego menikmati "me time" bersama sahabat dan godaan dari pria ganteng yang hadir memperhatikan disaat suami sibuk bekerja terus memburu Hannah. Kira-kira survive nggak sih Hannah dengan peran barunya itu? baca aja deh! :D
Buat saya sendiri, novel ini seperti potret kehidupan ibu muda yang memiliki karir di Jakarta, atau di kota lainnya. Antara ego mengejar karir dan nurani membesarkan anak. Dalam posisi saya sekarang dimana si kecil belum lahir, easy to say "ya keluarga nomer satulah", tapi pasti tergiur juga dong ketika ada tawaran kerjaan dari perusahaan bonafit datang menjemput. Jadi, saya pikir apa yang dialamin Hannah itu natural banget. Tinggal kita yang menentukan mana yang lebih prioritas, karir atau keluarga. Life's about choices, right?
Komentar
Posting Komentar